Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perguruan Tinggi Negeri yang Sulit Di Tembus

Perguruan Tinggi Negeri yang Sulit Di Tembus
Perguruan Tinggi Negeri yang Sulit Ditembus Mengenai Perguruan Tinggi Negeri apa aja memangnya yang sulit ditembus atau sulit untuk dicapai oleh para pelajar dari kalangan SMA. Dan pasti kalian penasaran bukan bagaimana cara mencapai atau menembus Perguruan Tinggi Negeri yang kalian inginkan itu dengan mudah ? Nah kalau kalian ingin mengetahui jawaban nya, pastikan kalian membaca artikel ini sampai habis ya.
Beberapa hari yang lalu, siswa-siswi SMA di seluruh Indonesia bersuka cita dengan hasil ujian nasional yang telah mereka tempuh. Berbagai macam gerakan, mulai dari sujud syukur, baju coret-coret, bakti sosial, konvoi di jalan, dan lain sebagainya. Baik yang lulus maupun yang tidak lulus tetap melakukan ritual tahunan ini. Namun ada beberapa hal yang sedikit mereka lupakan, mau Kemana setelah lulus SMA? bekerja atau melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Beberapa pelajar mungkin telah menerima di beberapa PTN juga PTS lewat jalur khusus yang disediakan PT (Perguruan Tinggi) yang ditunjuk, namun masih banyak yang masih bingung dalam menentukan masa depan. Untuk melanjutkan ke Perguruan Tingi tidak semudah yang dibayangkan, Mengingat biaya yang cukup besar untuk bea masuknya, kalaupun lewat jalur orang miskin toh juga masih banyak saingan dan harus pamer kemiskinan mulai dari RT sampai Walikota. Untuk bekerja, toh mereka mau bekerja apa? Mungkin tidak semudah membalikkan tangan. Perguruan Tinggi Negeri yang menjadi sasaran empuk para pelajar SMA yang ingin melanjutkan studi, UGM, UI, ITB, ITS, UNAIR, UNPAD, IPB yang ingin menjadi sasaran empuk para calon mahasiswa ini. Sekali lagi mereka harus berbenturan dengan banyak hal, persaingan ketat yang cukup ketat dan juga lagi-lagi masalah biaya yang tidak murah lagi. toh mereka mau bekerja apa? Mungkin tidak semudah membalikkan tangan. Perguruan Tinggi Negeri yang menjadi sasaran empuk para pelajar SMA yang ingin melanjutkan studi, UGM, UI, ITB, ITS, UNAIR, UNPAD, IPB yang ingin menjadi sasaran empuk para calon mahasiswa ini. Sekali lagi mereka harus berbenturan dengan banyak hal, persaingan ketat yang cukup ketat dan juga lagi-lagi masalah biaya yang tidak murah lagi. toh mereka mau bekerja apa? Mungkin tidak semudah membalikkan tangan. Perguruan Tinggi Negeri yang menjadi sasaran empuk para pelajar SMA yang ingin melanjutkan studi, UGM, UI, ITB, ITS, UNAIR, UNPAD, IPB yang ingin menjadi sasaran empuk para calon mahasiswa ini. Sekali lagi mereka harus berbenturan dengan banyak hal, persaingan ketat yang cukup ketat dan juga lagi-lagi masalah biaya yang tidak murah lagi.
Namun ada hal lain yang bisa kita masuki, ujian sistem masuk perguruan tinggi non SPMB atau SNMPTN. Betapa mahal dan sulit masuk jurusan yang bagus-bagus di PTN Favorit. Jika di Unair ada PMDK Reguler yang mahal (baik pendaftaran terdaftar hingga spp juga kontribusinya), Kalau di UGM ada UM dan PBS (sama mahalnya buat masuk kena sumbangan dulu dengan aneka harga). Sementara UI bernama simak (Oh iya, kata temen penulis dari UI, sekarang SPP UI 7,5 juta loh untuk semua jalur. Wow !!!). ITS sebagai jalur kemitraan, sedangkan ITS bekerja sama dengan beberapa perusahaan BUMN dan Swasta bukan untuk menyiarkan ITS tetapi untuk menyaring anak-anak yang orang tuanya bekerja di Perusahaan tersebut untuk masuk ITS dengan aneka harga. Dan masih banyak jalur duit lainya kayak di ITB, UNPAD, dan lainnya.
Kayaknya semua jalur di atas sepenuhnya banget dikembalikan dengan duit yang tidak sedikit. Jadi, jangan kuliah pria-pria. Kasihan orang tua yang sudah keluar banyak duit. Nah dari semua jalur duit itu, pasti tidak sedikit bangku yang disiapkan buat mereka. Coba bandingkan dengan teman-teman yang masuk via tes prestasi / akademik dan SPMB. Kayaknya mereka jadi minoritas di jurusan yang banyak peminatnya. Betapa susahnya kompilasi mereka harus bersaing melalui jalur prestasi akademik dan SPMB, selain jumlah bangku yang diperuntukkan tidak banyak, saingan mereka juga banyak dan tidak sedikit siswa yang kebal karena mereka sudah mempersiapkan diri semudah mungkin untuk menguji SPMB. Paman, orang tua dan Orang-orang jaman dulu yang pernah kuliah pun cuma bisa geleng-geleng dan tercengang kompilasi tahu kuliah di negeri sekarang mahalnya amit-amit dan bikin sembelit. Sementara jaman dulu sekolah negeri itu murah loh, negara masih banyak terlibat. Sekarang negara sudah cuek dan kirimkan semua ke pasar. Pendidikan dan Kesehatan adalah faktor penting bagi bangsa, gimana mau mewujudkan bangsa yang sehat dan terdidik sementara mereka ke sana seakan dipersulit dan tidak diizinkan !!! 
Beberapa penjelasan di atas seakan membuka mata kita sulit masuk PTN Pilihan, di mana seluruh PTN itu berada di Jawa. Dimana sejak berubah menjadi BHMN, PTN itu mulai memiliki berbagai macam jurus jitu dibuka aneka jalur dengan aneka harga. Otonomisasi kampus bukan hanya maslah kurikulum untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun juga otonomi dalam pengolahan keuangan. Sebenarnya ini wujud dari kemandirian atau ketidakmampuan negara untuk mengolah dunia pendidikan ? 
Maka tak heran jika semakin jarang kita temui si miskin dalam jurusan macam kedokteran, kedokteran gigi, teknik industri, informatika, sipil, manajemen, hubungan internasional, psikologi, komunikasi, hukum, dan lainnya. Perguruan Tinggi Negeri Pilihan seakan anti dengan orang miskin. Orang Miskin harus menerima pendidikan tinggi, padahal pendidikan harus menjadi hak dan mengharuskan semua orang. Jika kita mau jujur ​​dan apa saja tentu tidak sedikit jumlah kaum miskin di Indonesia, tetapi mengapa mereka menjadi kaum minoritas pendidikan tinggi? Susahnya mengakses jalur pendidikan seakan mengingatkan kita kembali pada zaman penjajahan, sedangkan pendidikan hanya bisa dinikmati oleh kaum elite.
Kenapa kok pendidikan malah jadi barang langka? alangkah jahatnya negeri ini mengomersialisasikan semua hal-hal yang penting bagi rakyat pendidikan. Tak heran jikalau pendidikan tinggi ini hanya disukai oleh kaum elite dan sedikit kaum miskin, mahasiswa pada akhirnya tidak lagi menjadi penyambung lidah rakyat. Dimana menjadi mahasiswa hanya untuk meningkatkan status sosial dan mencari pekerjaan agar mendapat pembelajaran yang lebih baik. Mahasiswa pada akhirnya terjebak ke dalam jurang kapitalisme yang semakin dalam, mahasiswa terhubung dengan hiburan malam, belanja dunia, seks bebas, narkoba dan senang-senang. Mahasiswa yang diharapkan menjadi intelektual dan peneliti muda dalam pembangunan negeri ini, seakan menerima tugasnya sebagai orang yang juga bertanggung jawab dalam pembangunan negeri ini.
Dan bagaimana dengan anak yang terus terusan berprestasi, apakah ia akan berhasil ? Nah penasaran kan ? Baca artikel nya sampai habis ya.
Prestasi di sekolah gak selalu seiring sejalan dengan kesuksesan di dunia kerja. Mau bukti? Simak kisah hidup Susi Pujiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan era Presiden Joko Widodo. Ijazah terakhirnya cuma tingkat SMP, loh. Lalu ada Susan Bachtiar, artis yang belakangan jadi pengajar di taman kanak-kanak. Dia pernah gak naik kelas, tapi bisa sesukses sekarang. Dari mancanegara, ada nama-nama beken di bidang teknologi. Di antaranya Steve Jobs, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg. Mereka gak pernah terima ijazah sarjana meski pernah kuliah. Jadi, jika anak selalu juara kelas, jangan kelewat bangga dulu. Itu bukan jaminan dia pasti sukses kelak. Begitu juga sebaliknya. Kenapa bisa begitu? Berikut ini penjelasannya.
  1. Karakter nya bagaimana ?
Anak yang selalu dapat ranking 1 sejak kelas 1 SD sudah pasti punya tingkat kepintaran di atas rata-rata. Tapi cerdas saja tidak cukup untuk bisa sukses. Karakter juga mempengaruhi kesuksesan seseorang di dunia kerja. Kepintaran biasa saja tapi selalu bekerja keras dan pandai berkomunikasi, misalnya. Sangat mungkin kesuksesan lebih cepat ia raih ketimbang orang yang pintar namun sulit menjalin relasi. Tentunya lebih bagus bila kepintaran diimbangi dengan karakter yang kuat dan mumpuni. Jadi, tugas kita sebagai orang tua untuk menyeimbangkan keduanya dengan pendidikan formal dan informal.
  1. Pintar Belum Tentu Cerdas
Sambungan dari poin sebelumnya, kecerdasan lebih dibutuhkan ketimbang kepintaran. Apa beda pintar dan cerdas? Secara umum, orang pintar didefinisikan sebagai orang yang berilmu. Kepintaran itu didapatkan dari pembelajaran teori di ruang kelas. Ukuran kepintaran adalah rapor yang bagus. Sedangkan orang yang cerdas cenderung lebih menguasai persoalan berkat pengalaman dan praktik secara informal. Kecerdasan tidak kaku mengacu pada teori-teori yang diajarkan di ruang kelas. Teori memang penting, tapi sering kali kenyataan di lapangan membutuhkan lebih dari itu. Teori mesti dikembangkan, dikurangi, atau ditambahi sendiri agar bisa digunakan di lapangan. Orang cerdas punya kemampuan untuk itu.
  1. Stress Dikemudian Hari
Bila tak diantisipasi, gelar juara kelas yang diraih anak tiap semester bisa berbuah stres di kemudian hari. Tuntutan agar anak jadi juara biasanya disertai dengan rutinitas les-les setelah jam sekolah. Rutinitas ini bisa membuat otak terforsir melakukan pekerjaan berat tiap hari. Pada suatu saat, titik stres akan tercapai dan membuat sang anak jadi tertekan hebat. Akibatnya, bukan kesuksesan di dunia kerja yang didapatkan. Melainkan perilaku yang mencerminkan adanya tekanan tersebut, misalnya menjadi agresif dan emosional, sehingga gak tercipta lingkungan kerja yang mendukung.
  1. Kurang Kreatif
Dalam artikel studi yang dimuat di jurnal kampus Harvard, kreativitas punya peran penting dalam kepemimpinan seseorang. Orang yang kreatif umumnya lebih sukses sebagai pemimpin yang mengayomi. Sayangnya, kreativitas lebih dekat ke orang yang cerdas ketimbang yang pintar. Namun bukan berarti orang yang pintar pasti gak kreatif. Ketika menjadi pemimpin, orang yang sekadar pintar susah menjadi leader. Pol mentok hanya menjadi manajer.
Nah itulah sekian guys informasi yang saya dapat berikan kepada Anda, semoga dengan artikel ini, pengetahuan Anda semakin bertambah dan semakin luas. Semoga bermanfaat.

Posting Komentar untuk "Perguruan Tinggi Negeri yang Sulit Di Tembus "

Iklan Bawah Artikel