Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kemerdekaan Dalam Belajar

Kemerdekaan Dalam Belajar

Kemerdekaan Dalam Belajar

Pasti kalian bertanya- tanya bukan ?
Maksudnya dari kemerdekaan dalam belajar ? Kok merdeka dalam belajar sih ? Emang ada apa ? Emang selama ini kita belajar tidak merdeka ? Atau kenapa sih sebenarnya ? Yuk kalau mau tau, baca sampai habis !
Salah satu hal yang penting untuk pendidikan Indonesia ke depannya adalah kemerdekaan dalam belajar. Kemerdekaan untuk belajar di Indonesia masih belum sepenuhnya didapatkan oleh guru ataupun murid. Merdeka Belajar ini konon dilahirkan dari banyaknya keluhan orang tua pada sistem pendidikan nasional yang berlaku selama ini. Salah satunya ialah keluhan soal banyaknya siswa yang dipatok nilai-nilai tertentu. Merdeka dalam belajar yakni unit pendidikan yaitu sekolah dan juga guru serta murid memiliki kebebasan untuk berinovasi. Pelaku pendidikan ini juga mestinya dilakukan dengan belajar secara mandiri dan kreatif. 
Meskipun demikian, Nadiem belum menjabarkan rencana apa yang akan ia lakukan dalam menyediakan ruang inovasi bagi pelaku pendidikan tersebut. Ia mengatakan, saat ini pihaknya baru melihat gambaran besarnya. Terkait masalah detail kebijakan, masih akan disisir bersama pejabat di Kemendikbud.
Merdeka belajar dan guru penggerak bukanlah suatu yang baru dalam dunia pembelajaran. Penganut ideologi humanistik dalam pembelajaran telah mendikusikan secara mendalam dua tema tersebut lebih dari setengah abad yang lalu. Pada tahun 1969 Carl Rogers mempublikasikan sebuah buku berjudul “Freedom to Learn”. Pada pengantar buku tersebut, Lima puluh tahun lalu, ia mengatakan, “Sekolah kita umumnya sangat tradisional, konservatif, birokratis dan resisten terhadap perubahan. Satu cara yang harus dilakukan untuk menyelamatkan generasi muda ini adalah melalui kemerdekaan belajar”. Pada tahun 1962 Everett M. Rogers menulis buku berjudul “Diffusion of Innovation” dimana pada buku tersebut memuat satu bab tersendiri tentang pengerak atau agen perubahan.
Indonesia telah merdeka selama 74 tahun, semestinya pembangunan pendidikan mengalami kemajuan, kenyataannya tidak demikian, mutu pendidikan di negeri ini masih sangat rendah.
Filosofi "Merdeka Belajar"

Disarikan dari asas penciptaan manusia yang merdeka. Di antara pelbagai makhluk Tuhan, dengan fasilitas akal, manusia adalah makhluk yang merdeka untuk memilih jalannya sendiri, baik jalan kebaikan maupun jalan keburukan. Tidak ada seorangpun atau apapun yang memaksa atau menghalangi manusia untuk menentukan dua jalan tersebut.
Tujuan Merdeka Belajar ialah agar para guru, siswa, serta orangtua bisa mendapat suasana yang bahagia. "Merdeka Belajar itu bahwa pendidikan harus menciptakan suasana yang membahagiakan. Bahagia buat siapa? Bahagia buat guru, bahagia buat peserta didik, bahagia buat orangtua, untuk semua umat.
Dengan perkataan lain, mengurus pendidikan dengan kepala kosong, ada kesan urusan pendidikan diserahkaan kepada mereka yang bukan ahlinya, dan pendidikan dipermainkan. Mengutip John Maxwell, ketika semua (sukses dan gagal) tergantung pada pembelajaran, namun sayangnya pembelajaran belum merdeka dan belum memerdekakan.
Sandy MacGregor (2000) dalam bukunya “Piece of Mind” menyatakan anak-anak usia 0-5 tahun (usia PAUD) memperoleh lebih banyak data dan fakta dari pada mahasiswa selama lima tahun kuliah di perguruan tinggi karena anak-anak mendapat kemerdekaan dalam tumbuh kembangnya, Mereka menikmatinya dan sangat senang melakukannya, sementara banyak mahasiswa mengalami stress dalam perkuliahannya. Mereka masih banyak dihantui rasa takut kepada dosennya.
Sebuah ilustrasi, Rockefeller University di New York City, sebuah universitas swasta ternama, berdiri tahun 1901, alumninya telah menghasilkan 24 orang ilmuan penerima nobel. Selain sumber daya yang dimilikinya, faktor yang sangat mempengaruhi kesuksesan dan prestasi akademik alumni universitas tersebut adalah “Kemerdekaan dalam Pembelajaran” (freedom of learning).
Sejak berdiri, Universitas Rockefeller telah memeluk struktur terbuka untuk mendorong kolaborasi antar disiplin dan sumber daya fakultas, berani mengambil “high-risk” dan “high-reward project”, tidak ada departemen formal, birokrasi dikesampingkan, para dosen dan peneliti diberi sumber daya, dukungan dan kebebesan secara tidak terbatas mengikuti kemanapun dan dimanapun ilmu itu berada. Pada jenjang pasca sarjana diterapkan, “Learning Science by Doing Science” berbasis adat dan budaya setiap peserta didik.
Harvard University sebuah universitas prestesius di dunia hingga saat ini juga melakukan hal yang sama, yakni memberikan kemerdekaan dalam pembelajaran, contoh kasus, jika dosen dinilai oleh mahasiswanya tidak mampu menyampaikan perkuliahan secara efektif, maka para mahasiswa meminta dosennya untuk memilih; dosen atau mahasiswa yang harus keluar meninggalkan ruang kelas”.
Bukti lain, pikiran manusia kurang berkembang.

Gardner seorang pakar kecerdasan ganda mencatat bahwa pikiran manusia tidak sekolah (unschool mind), pada siswa duduk manis mendengar gurunya bertutur, sebesar 97% pikiran manusia masih tertidur nyenak akibat dari proses pembelajaran yang belum memerdekakan itu, demikian pula Martin Seligman menegaskan bahwa ketidak berdayaan manusia akibat dari proses pembelajaran tidak merdeka yang dialaminya.
Hal yang sama “Kemerdekaan dalam Pembelajaran” juga diterapkan di Finlandia, sebuah negara yang dikenal memiliki mutu pendidikan terbaik dunia. misalnya tidak ada kurikulum dan evaluasi standar secara nasional, semua diserahkan pada kebebasan sekolah masing-masing.
Mengutip pendapat Nyoman Degeng bahwa kemerdekaan belajar bermula dari sebuah asumsi atau pandangan bahwa pengetahuan adalah non-objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
Belajar adalah penyusunan atau membentuk pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktifivitas kolaboratif, refleksi dan interpretasi. Sementara mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Akibatnya, siswa memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan presfektif dan interpretatif. Dan sukses mengajar ditentukan oleh kesiapan siswa untuk belajar atau readness of learning.
Tujuan pembelajaran yang memerdekakan menekankan pada belajar bagaimana belajar; menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif-produktif dalam konteks nyata (kontektual) yang mendorong siswa untuk berpikir, memikir ulang dan mendemonstrasikan.
Kemerdekaan belajar memerlukan penataan lingkungan belajar dalam suasana kondusif sekalipun terlihat tidak teratur, tidak pasti, dan semeraut. Sebuah asumsi, orang belajar harus bebas (freedom of learning). Hanya di alam yang penuh kebebasan tersebut si belajar dapat mengungkapkan makna yang berbeda dari hasil interpretasi terhadap segala sesuatu yang ada di dunia nyata. Kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar.
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai. Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa adalah subjek, bukan objek, Mereka harus mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar. Hal yang sangat penting bagi pembelajaran yang memerdekakan itu dimana kontrol belajar dipegang oleh diri siswa sendiri, bukan orang lain.
Sebaliknya, praktek pembelajaran yang tidak memerdekakan selama ini tampak dimana si belajar dihadapkan dan ditetapkan pada aturan yang jelas dan ketat. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin, bahkan kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum sehingga ada kesan “Sekolah tempat menuntut ilmu lebih kejam ketimbang penjara”, demikian Bernard Shaw sebagaimana dikutip dari Naomi (1999) dalam buku “Menggugat Pendidikan”.
Strategi pembelajaran yang memerdekakan, menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna dan proses pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan siswa. Aktivitas belajar lebih menekankan pada ketrampilan berfikir kritis, analisis, membandingkan, generalisasi, memprediksi, dan menyusun hipotesis.
Pelaksanaan evaluasi dalam pembelajaran yang memerdekakan menekankan pada proses penyusunan makna secara aktif yang melibatkan ketrampilan terintegrasi dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata. Evaluasi menggali munculnya berfikir divergen, pemecahan masalah secara ganda atau tidak menuntut satu jawaban benar karena pada kenyataannya tidak ada jawaban siswa yang salah, yang ada adalah pertanyaan pendidik yang salah.
Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata, artinya evaluasi lebih menekankan pada ketrampilan proses dalam kelompok.
Tuhan hanya memberi fasilitas berupa kehidupan (ruh) dan organ (sebagai alat) yang bisa digunakan manusia untuk memilih jalan. Karena itu, sebagai makhluk yang merdeka, insan harus bertanggungjawab atas perbuatannya dan ia tidak punya alasan untuk menyudutkan Tuhan dalam kejahatan yang dilakukannya.
Dan pendidikan yang baik harus memperhatikan asas kemerdekaan yang merupakan hadiah terbaik yang diberikan Tuhan kepada manusia, sehingga pendidikan tidak boleh bertentangan dengan asas kemerdekaan manusia.
Merdeka belajar bermakna kemerdekaan belajar, yakni memberikan kesempatan belajar sebebas-bebasnya dan senyaman – nyamannya kepada anak didik untuk belajar dengan tenang, santai dan gembira tanpa stres dan tekanan dengan memperhatikan bakat alami yang mereka punyai, tanpa memaksa mereka mempelajari atau menguasai suatu bidang pengetahuan di luar hobi dan kemampuan mereka, sehingga masing-masing mereka mempunyai portofolio yang sesuai dengan kegemarannya. Bila kemerdekaan belajar terpenuhi maka akan tercipta "belajar merdeka" atau "pembelajaran yang merdeka" dan sekolahnya disebut sekolah yang merdeka atau sekolah yang membebaskan.
Ki Hajar Dewantara menekankan berulang kali tentang kemerdekaan belajar.

"...kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu "dipelopori", atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, akan tetap biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri..." Ki Hajar Dewantara ( buku Peringatan Taman - Siswa 30 Tahun, 1922-1952 ). Anak pada dasarnya mampu berpikir untuk " menemukan " suatu pengetahuan.
Sebab, memberi beban kepada pelajar di luar kemampuannya adalah tindakan yang tercela secara akal sehat dan tidak mungkin dilakukan oleh guru yang bijak. Ini tak ubahnya seperti murid yang buta lalu guru memintanya menceritakan apa dan bagaimana matahari itu kepada teman-temannya.
Merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir.

Dan terutama esensi kemerdekaan berpikir ini harus ada di guru dulu. Tanpa terjadi di guru, tidak mungkin bisa terjadi di murid. banyak guru dan kepala sekolah yang tak siap dan belum memiliki kompetensi untuk menciptakan penilaian sendiri. seharusnya tak ada orang yang meremehkan kemampuan seorang guru. Dalam kompetensi guru di level apapun, tanpa ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah ada pembelajaran yang terjadi. Tanpa guru melalui proses interpretasi, refleksi dan proses pemikiran secara mandiri, bagaimana menilai kompetensinya, bagaimana menerjemahkan kompetensi dasar, ini menjadi suatu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang baik. Dengan administrasi pendidikan dan pembelajaran di dalam kelas. Administrasi pendidikan adalah suatu proses di mana guru kejar tayang menyelesaikan materi. Sedangkan, pembelajaran justru terjadi ketika guru bisa menerjemahkan kurikulum, mencari jalannya sendiri, baru keluar lagi kepada murid.
Dengan terjadinya proses refleksi dan meta kognitif guru, maka barulah terjadi proses refleksi murid dan meta koginitif siswa, ini adalah proses wajib dilaksanakan semua guru.
Semua guru harus berpikir secara mandiri, dan pembelajaran tidak akan terjadi jika hanya administrasi pendidikan yang akan terjadi. Paradigma merdeka belajar adalah untuk menghormati perubahan yang harus terjadi agar pembelajaran itu mulai terjadi diberbagai macam sekolah.
Alasannya, beberapa sekolah mungkin belum siap diberikan kebebasan untuk membuat sistem penilaian sendiri karena minimnya fasilitas dan kualitas guru. Hal tersebut dikhawatirkan bisa memperparah ketimpangan pendidikan.
Ujian nasional yang selama ini menjadi pintu gerbang bagi para pelajar di Tanah Air untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi akan ditiadakan pada 2021 dan digantikan dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.
Pemberlakuan UN dianggap kurang tepat karena lebih mendorong siswa untuk menghafal bahan pelajaran, bukan memahaminya. Ujian nasional juga dianggap bisa menjadi sumber stres bagi pelajar, bahkan orang tua dan guru karena ada tuntutan pencapaian nilai yang tinggi.
Keberadaan UN yang lebih mengedepankan capaian nilai akademis dinilai bertentangan dengan prinsip pendidikan itu sendiri yang juga membutuhkan aspek psikologis dan perkembangan kepribadian siswa.
Tentang ketidakefektifan UN ini juga pernah disurvei PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 2012. Hasilnya, bahwa 70% masyarakat dan guru setuju UN dihapus. Tanggapan yang beragam muncul dari kalangan pemerhati pendidikan. Sebagian mempertanyakan standar apa yang akan diterapkan secara nasional bila ujian nasional dihapus. Sebagian lain menilai kebijakan ini membuat guru lebih leluasa dalam menilai siswa didiknya.
Tidak ada kebijakan tanpa kritik. Menanggapi berbagai kritik dan kekhawatiran tidak adanya standar akibat penghapusan UN. Bahwa standar nasional tentu saja ada. Namun, cara penilaian dan bentuk tesnya akan menjadi kedaulatan pihak sekolah.
Pihak sekolahlah yang mengetahui kemampuan kognisi dan perkembangan psikologis anak. Adapun perihal sekolah yang belum siap untuk membuat asesmen. Mereka bisa menggunakan soal-soal dari USBN atau UN. Pada akhirnya, memberi kemerdekaan berarti tidak ada paksaan bagi sekolah untuk menggunakan sistem asesmen.
Pada prinsipnya sekolah dipacu untuk melakukan proses adaptasi.

Bagi yang belum siap, bagi yang masih mau belajar menggunakan cara penilaian baru. Silakan. Itu haknya sekolah. Namun, bagi sekolah-sekolah dan guru yang sudah siap, bisa maju duluan. Dan itu tentunya tidak akan kita tinggalkan sendiri, kita akan selalu memberikan contoh – contoh.
Satu lagi, pekerjaan rumah yang mendesak ialah meningkatkan kompetensi guru secara merata. Keberhasilan program Merdeka Belajar akan sangat ditentukan kompetensi guru yang kondisinya saat ini belum merata.
Nah itulah sedikit informasi mengenai kemerdekaan dalam belajar, semoga kalian memahami nya, bahwa dalam proses belajar mengajar itu perlu dalam keadaan merdeka. 
Semoga bermanfaat.

2 komentar untuk "Kemerdekaan Dalam Belajar "

  1. Tulisan yg menarik.Pendidikan Indonesia harus berbena.Selain kemardekaan dalam belajar,perlu juga kemardekaan dalam belajar untuk berpikir bebas tapi bertanggung jawab.Mungkin perlu adanya stimulasi sejak dini sedari PAUD misalnya.Salam santun from biropesona blogspot.com

    BalasHapus
  2. makasih ..ilmu dan informasinya sangatmembantu min.. Sebagai murid memang harus merdeka. merdeka tentang hal apa ya.
    hal apa aja dah... eh tp saya gak tau juga sih ngmong apaan ini..

    intinya artikelnya menambah wawasan

    BalasHapus

Iklan Bawah Artikel