Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

IPK Yang Tidak Beruntung

IPK Yang Tidak Beruntung

IPK Yang Tidak Beruntung

Masalah kah bagi mu ? Tentu jelas tidak dong. Kalau tidak paham, bisa baca artikel ini yuk.
Wahai mahasiswa semester tua dan yang muda, kali ini P! nggak akan nanyain skripsi sampai mana atau kapan lulus? Kaliam bisa nafas lega kok! cuma akan ngebahas soal IPK. Kalau kalian kesel, pasti kalian masuk ke kelompok mahasiswa dengan IPK 2, sekian-sekian atau malah 1 koma. Ehhh jangan ngomel dong ! nggak mau menghina kok. Justru mau ngasih semangat. Iyah, semangat yah buat ngulang di semester depan. Hehehehe.
IPK atau Indeks Prestasi Kumulatif kerap dianggap sebagai separuh nyawa mahasiswa ( separuhnya lagi mungkin uang bulanan dari orang tua ). Selain jadi bukti pada orang tua kalau kamu niat kuliah, IPK juga adalah standar persaingan prestasi antar mahasiswa dan syarat pertama yang biasa dipatok perusahaan dalam mencari karyawan. Wajar jika kamu berusaha mati-matian untuk mendapatkan IPK yang cemerlang.
Namun apa daya, setelah berusaha keras, kamu harus menghadapi kenyataan bahwa IPK-mu tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Tak jarang, ini membuatmu putus asa.
Tapi sebenarnya kamu tidak perlu merasa sial. Justru jika kamu bisa mengakali keadaan tak ideal ini, kamu bisa tumbuh menjadi mahasiswa “paket istimewa”.
Nasib memang manusia yang menentukan. Indah, sedih, bahagia, haru, dan tangis adalah takdir. Takdir yang sulit untuk kita tentukan arah dan tujuannya. Bingung, begitulah yang akan terjadi pada saat segala sesuatu tak memenuhi syarat minimal. Sebuah syarat yang penilaiannya entah dari mana. Ketetapan dan syarat selalu ditentukan oleh mereka yang merasa dirinya layak. Layak untuk menentukan nasib dan takdir. Benarkah? Pantaskah? Mestikah? Lalu dimana keadilan tuhan itu sendiri.

Sesekali, kita akan terjebak dalam sebuah Sistem dilematis. System yang bergerak beriringan dengan perkembangan anak manusia. Mengatasnamakan kemanusiaan, mengatasnamakan sebuah perkembangan dan kemampuan intelektualitas. Aneh. Tapi itulah sebuah realita yang harus dimakan. Dilahap dan dikunyah selumat mungkin agar bisa menelannya.
Tiada maksud untuk ujub, riya, atawa sum`ah.
Tidak ada maksud sama sekali. Bukan juga sebagai penyemangat diri sendiri. Bukan pula sebagai sebuah pembenaran atas sebuah sikap. Terlebih lagi alasan atas sebuah kebodohan diri. Tidak sama sekali. Semangat yang membuncah tidak akan pernah ada gunanya tanpa menemukan solusi. Solusi untuk bisa meneruskan langkah kaki. Bukankah demikian? Semua dari proses penulisan ini hanya ingin berbagi. Menentukan langkah kaki dari sebuah system kehidupan yang terlena lalu tergilas oleh roda nasib. Sebuah system kegilaan yang menciptakan manusia-manusia gila.
Tak usah mengutuk, tak usah juga menyesali diri atas apapun yang terjadi. Nasib berada pada tangan sendiri. Takdir pada Allah. Begitulah kata-kata bijak mengungkapkannya. Miris memang pada saat anda melihat kenyataan nilai diatas tersebut. Apa yang bisa dihandalkan dari nilai seperti itu? Jangankan masuk perusahaan berlabel internasional. Memenuhi persyaratan masuk pegawai negeri saja tidak mencukupi. Lalu, timbullah penyesalan. Penyesalan atas nilai dan apa yang telah terjadi. Lamat-lamat mengutuk diri dan keadaan juga menjadi sebuah kewajiban. 
Penyesalan demi penyesalan tidak akan berguna apalagi untuk membantu keadaan menjadi lebih baik. IPK jelek bukan awal dari kehancuran. Akan tetapi ipk jelek bisa jadi itu adalah awal titik kesuksesan. Menariknya, pada saat kita melihat keadaan sekitar. Kebanyakan mereka yang sukses adalah mereka yang IPK nya kurang dari tiga. Lagi-lagi jadi pertanyaan bagi diri, apalah guna IPK tersebut. Para ulama 4 mahzab saja tidak mempunyai kuliah khusus dengan ipk yang tinggi. Akan tetapi mereka menjadi patokan. Belum lagi mereka yang berhasil dari segi ekonomi. Ahmad deedat sendiri bukanlah orang yang bisa dikatakan bagus karir akademiknya. Akan tetapi, dia berhasil mengguncang dunia dengan karyanya. Ini belum lagi dengan deretan triliyuner diseluruh dunia yang tidak mengeyam pendidikan akademis.
IPK, surat kelulusan, nilai A, lulusan kampus bergengsi, dan entah apalagi.
Berderet-deret seperti gerbong kereta api. Bergunakah? Relevant kah? Atau malah semuanya hanyalah sebuah system kapitalis yang tercipta dari keyahudian dunia. Lihat saja, negeri ini sekarang sudah mewajibkan NPWP bukannya wajib zakat. Aneh. Begitupun saat masuk keperusahaan, bukannya ilmu akan tetapi nilai IPK. Padahal, hampir semua manager HRM sepakat, bahwa tes interview adalah penentuan segalanya. Diterima atau ditolaknya seseorang. Lantas bagaimana bila memenuhi kebutuhan hanya saja IPK nya anjlok? Mungkin inilah yang dikatakan dengan hegomoni orang-orang bodoh. 
Entah mengapa, tidak ada sedikitpun dalam diri saya dengan nilai yang sangat parah ini. Tidak ada sedikitpun rasa kecewa dimuka saya dengan nilai yang ada. Biarkan saja. Apa peduli saya? Mungkin ini terdengar sombong. Akan tetapi, kakek saya dahulu berpesan. Bila kuliah hanya mencari nilai, ijazah, dan kerjaan, lebih baik kamu beli saja semuanya dengan uangmu dan tidak usah kuliah. Buat apa menghabiskan waktu yang banyak hanya untuk sebuah nilai dan kertas. Lebih baik bekerja saja sewaktu selesai smu. Akan tetapi, bila ingin kuliah untuk mencari ilmu, maka kuliahlah dengan semangat dan ikhlas. Karena dengan ilmu kamu akan tertolong dunia akhirat.
Nasehat tersebut akhirnya menjadi motivasi saya dalam keadaan terjepit.
Mungkin banyak teman yang nilainya lebih tinggi, akan tetapi benarkah mereka lebih beruntung dibandingkan saya? Wallahu`alam. Karena takdir ada ditangan Allah. Bila ilmu sudah ada ditangan maka langkah selanjutnya adalah mengamalkannya. Bukan hanya berharap untuk menjadi “babu” dari sebuah system. Apa hebatnya orang yang tamatan sekolah bisnis bergengsi akan tetapi hanya kerja ditoko kelontong? Mungkin memang hina, akan tetapi secara teori bisnis, justru itu adalah sebuah bisnis yang paling menguntungkan. Apalagi bila bisa menjadi distributor beras. Sepele, tapi itu menguntungkan. Tapi mungkin dimata anda akan hina. Ya, inikan sudah menjadi tipikal manusia yang gila harta. Mengukur segala sesuatu dari nilai prestige dan “wah”. Padahal dia Cuma salesman produk kesehatan.
IPK rendah, bukanlah awal kehancuran. Akan tetapi justru dialah titik awal batu loncatan. Langkah kecil untuk mencapai langkah besar. Mengapa harus sibuk bila ilmu sudah ada ditangan. Bukankah banyak hal yang menyebabkan seseorang menjadi terlihat bodoh, walaupun sebenarnya tidaklah demikian. Dosenku, yang kini menjadi seorang manajer disalah satu perusahaan internasional tamat dari IPB dengan ipk 2,8. Dia mengatakan bahwa ipknya menjadi demikian karena ada factor ekonomi, keluarga dan tuntutan hidup. Sehingga hal itu menyebabkan beliau tidak bisa kuliah dengan baik. Terkadang perutnya lapar, karena semalaman belum diisi. Ini hanya karena tidak ada dana. Buku yang tidak up date lagi-lagi karena tidak ada dana. Akan tetapi pada saat setelah bekerja dan memiliki dana, ia lulus S2 dengan IPK 3,98. Inilah kehidupan.
Dosenku sesekali tersenyum saat tahu nilai IPK ku. Anehnya, malah ia menawarkanku untuk magang dikantornya. Bagian business process. Ini juga belum termasuk dengan tawaran dari seorang teman di AHM bagian quality system. Sedangkan teman-teman lainnya? Hanya yang ipknya cumlaude saja yang mendapat tawaran magang dari kampus. Selebihnya, Selamat mencari. Lagi-lagi miris sekaligus menunjukkan kepada kita, bahwa ada kehendak Allah bertindak dalam setiap langkah anak manusia. Maka mengapa harus sombong dengan nilai diatas kertas. Saya sendiri justru bangga dengan nilai itu. Yang menandakan kemampuan otak saya. Tidak lebih tidak kurang. Untuk apa nilai bagus bila itu hasil ngulang di semester pendek? Untuk apa nilai bagus bila itu hasil nyontek?
Yup. Aku ada saran nih daripada kalian menangisi angka IPK, lebih baik kamu memikirkan hal-hal di bawah ini saja ya guys.
  1. Anggaplah kuliah itu seperti menu makan: IPK adalah nasinya, pengembangan skill dan pola pikir lauk-pauknya. Mendewakan IPK sama halnya dengan hanya memakan nasi — kamu akan kurang gizi.

Bicara tentang IPK memang selalu memberikan sensasi tersendiri bagi mahasiswa. Saat IPK naik, kamu akan girang bukan main. Saat IPK terjun bebas, kamu akan merasa kiamat sudah dekat.
Bukannya IPK itu tidak penting sama sekali, tapi tujuan kuliah bukan hanya mendapatkan IPK “dewa”. Tak kalah pentingnya dari IPK adalah soft skill serta pola pikir yang kamu dapatkan selama proses perkuliahan.
Jika kamu tak puas dengan IPK-mu yang sekarang, bisa jadi sebenarnya dalam hati kamu adalah orang yang punya ambisi. Mungkin kamu gagal mendapatkan prestasi akademik secemerlang harapan karena kamu begitu sibuk menyalurkan ambisimu di tempat-tempat lain, misalnya organisasi kampus atau komunitas hobi di kotamu. Menangisi IPK hanya akan membuatmu lupa bahwa kamu punya potensi-potensi yang tak bisa diterjemahkan ke dalam angka-angka. Cobalah tilik lebih dalam ke dirimu sendiri: bukankah dari kegiatan berorganisasimu selama ini, kamu telah menempa pola pikir dan soft skillyang dibutuhkan sebagai seorang profesional?
Dengan mengembangkan soft skill dan pengalaman, jangan heran JIKA KAMU bisa menjadi kandidat yang dicari banyak perusahaan. Di lain sisi, dengan pola pikir yang maju kamu pun bisa membuat masa depan yang cerah tanpa harus mengandalkan apa yang tertera dalam ijazah. Setiap orang pasti punya keunggulannya masing-masing. Haram hukumnya untuk cepat menyerah hanya karena IPK yang tidak summa cum laude.
  1. Tak perlu mengutuki diri sendiri. Jika kamu memang masih punya waktu dan peluang, inilah saatnya mengkoreksi cara belajarmu selama ini.

Nilai IPK yang rendah bukan kiamat, karena ini bukan akhir dunia yang akan mengantarmu ke akhirat. Tanpa perlu mengutuki diri sendiri, alangkah baiknya kamu coba meluangkan waktu sendiri. Apakah ada yang salah dengan sistem belajarmu selama ini? Apakah mungkin secara gak sadar kamu menganggap enteng kuliah? atau mungkin kamu selama ini malas mengerjakan tugas? atau bahkan ini semua sudah maksimal?
Tanpa perlu merasa tak berguna, gak ada salahnya coba kamu tanyakan lagi pada diri sendiri tentang apa yang selama ini kamu cari? Nilai A? Predikat Cum Laude? Ilmu yang bermanfaat? Membangun pola pikir maju? Hanya kamu yang tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini.
Punya IPK tinggi gak perlu bikin jumawa, dan punya IPK lebih rendah bukan berarti kamu celaka. Jika kamu masih bisa memperbaikinya, cobalah sekuat tenaga untuk mengubah ya. Jika tidak bisa, menyesal juga untuk apa? Pastikan saja kamu memaksimalkan bakat-bakat di kegiatan non-akademik yang kamu suka. Karena masa depan bukan hanya dibangun oleh angka –karakter kepemimpinan, pengalaman, dan pola pikir juga sama pentingnya.
  1. Naif jika bilang IPK tidak penting sama sekali. Tapi, naif juga menggantungkan masa depanmu pada angka-angka mati.

Rasanya naif sekali jika aku bilang IPK tidak penting. Tak dapat dipungkiri, IPK tinggi bisa melancarkan seleksi berkasmu saat melamar pekerjaan. Nilai IPK yang cemerlang juga bisa sangat membantumu saat seleksi berkas beasiswa. Tapi, naif juga jika kamu bilang bahwa IPK adalah segalanya.
Setelah seleksi berkas tahap pertama, perusahaan akan berusaha menggali dari dirimu kualitas yang lebih dari angka-angka yang tertera di ijazah dan transkripmu. Itulah mengapa saat wawancara kerja kamu akan ditanyakan seberapa mudah kamu bekerjasama, apakah kamu mampu bertanggung jawab dan amanah, serta seberapa cepat kamu bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Kualitas-kualitas ini akan dibuktikan sekali lagi dalam focus group discussion. Jadi, jangan berkecil hati ketika IPK-mu tidak sempurna.
Tak jarang, sebuah perusahaan akan berani memberikanmu masa uji coba jika kamu bisa membuktikan pada mereka bahwa kamu punya kualitas-kualitas yang mereka butuhkan.
Nah itulah sedikit saran untuk mengobati rasa kecewa dengan IPK yang kalian dapatkan walupun kecil itu tapi tetap usaha terbaik yang kalian keluarkan. Semangat lah untuk mengejar mimpi dan cita cita kalian masing – masing.
Semoga bermanfaat.

Posting Komentar untuk "IPK Yang Tidak Beruntung"

Iklan Bawah Artikel