Mengurangi Jam Belajar Di Sekolah
Mengurangi Jam Belajar Di Sekolah
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh semua nya, kembali lagi dengan saya si penulis artikel yang merupakan manusia biasa. Nah, dikesempatan kali ini saya akan memberikan sebuah artikel kepada kalian, yang berjudul “ Mengurangi Jam Belajar Di Sekolah “ . Mengapa emang nya dengan jam belajar di sekolah ? Ada apa sih ? Ya kenapa ? Ada apa dengan sekolah kita ? Semua itu akan terjawab di artikel saya yang berjudul “ Mengurangi Jam Belajar Di Sekolah “ . Yuk silahkan disimak baik – baik.
Perhatikan sindiran berikut ini.
" Untung sudah lulus ! hahaha " Celetuk seorang mahasiswa baru mendengar ide penambahan jam belajar anak di sekolah yang sempat dilontarkan menteri pendidikan dan kebudayaan yang belum lama menjabat.
Siswa yang sudah lulus SMA bisa saja merasa bebas dengan wacana di atas, tapi mereka yang masih sekolah, tentu akan menanggung imbasnya. Wajar jika kemudian para orang tua dan berbagai pihak menentang. Tanggung jawab anak-anak kita terkait pendidikan yang diajarkan terbilang berat, bahkan lebih berat dari kebanyakan negara maju.
Padahal, tidak semua pelajaran yang diberikan, penting bagi peserta didik untuk kehidupan pada masa depan atau setidaknya diminati. Masih terjadi, anak-anak Indonesia mempelajari sesuatu yang tidak prioritas/aplikatif pun tidak mereka sukai, sementara untuk ilmu yang benar-benar dibutuhkan pada masa depan atau diminati, justru harus mengambil kursus di luar sekolah.
Penambahan jam belajar berarti merenggut kebebasan anak untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman lain yang tidak didapatkan di kelas. Sang menteri menjelaskan alasan diberikannya jam tambahan adalah untuk pendidikan nonakademis, semisal, pendidikan karakter atau kebangsaan.
Mengagendakan pengetahuan baru tentu saja bukan gagasan buruk, melainkan juga perlu diimbangi dengan evaluasi seberapa penting mata pelajaran yang sudah ada saat ini dan bagaimana pengaruhnya secara fisik dan psikis terhadap perkembangan siswa.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, tidak semua ilmu harus dikuasai setiap individu. Seingat saya, sebagian besar menteri pendidikan mempunyai ide terkait apa yang belum diberikan pada anak. Padahal, selain itu juga, harus dipertimbangkan seluruh pelajaran yang sudah diberikan walau sebenarnya bisa jadi tidak semuanya relevan bagi anak pada masa depan.
Dibanding negara maju, anak Indonesia mempunyai beban belajar yang tidak ringan. Nyatanya, kualitas pendidikan di banyak negara maju terbukti menghasilkan generasi yang lebih matang secara pengetahuan, teknologi, dan kesiapan masuk ke dunia nyata.
Finlandia yang dikenal sebagai salah satu negara dengan pendidikan terbaik di dunia, bahkan anak didiknya jauh lebih 'santai' dari anak Indonesia. Meski begitu, Finlandia membuktikan mampu masuk dalam deret negara paling makmur di dunia.
Artinya, dengan besar hati harus diterima, masih banyak yang perlu dikaji ulang dalam sistem pendidikan di Tanah Air. Saya sendiri menyoroti banyaknya pelajaran yang tidak prioritas, tidak harus dikuasai semua anak, tetapi mau tidak mau terpaksa ditelan anak didik.
Kita dulu diajar tentang tata surya, diharuskan menghafal nama planet plus satelitnya, bahkan luas bumi, jarak matahari, dan lainnya. Benarkah selain tahu, ada manfaat jelas dari hafalan nama planet, satelit, dan lain-lain? Seluruh teman lama yang saya tanya, kompak menggeleng.
Bahkan, meski ditujukan untuk merangsang kecintaan terhadap antariksa, tidakkah sebaiknya diiringi kesepakatan bersama bahwa beberapa pelajaran sekolah cukup untuk diketahui, tetapi tidak untuk dihafalkan?
Artinya, bobot pendidikan harus dibeda-bedakan, mana yang perlu sekadar tahu, mana yang harus dikuasai murid. Sedangkan, di Indonesia, semua sama--ini harus dievaluasi.
Tertarik menggali lebih jauh, saya menelusuri lagi ke teman masa kecil, dokter, pengacara, tentara, politikus, dan banyak orang sukses. Pertanyaan saya sederhana, apakah mereka dulu belajar sinus, cosinus, dan tangen? Sontak mereka mengiyakan.
Pertanyaan berikutnya, apakah pelajaran tersebut terasa manfaatnya untuk pencapaian hidup saat ini? Jawaban yang saya terima mengatakan, soalan yang disebutkan tadi nyaris tidak memberi pengaruh apa pun dalam kehidupan karier mereka.
Meskipun ada juga satu teman yang tidak setuju, "Itu tetap penting, jika kita ingin membuat roket, dan lain-lain." Saya mengangguk, membenarkan. Akan tetapi, berapa banyak ahli roket yang kita butuhkan?
Bahkan, saat ini, ahli roket yang dipekerjakan setahu saya tidak lebih dari 1.000 orang di Indonesia. Lantas, mengapa berjuta-juta anak Indonesa dipaksa belajar sesuatu yang hanya dipakai segelintir orang?
Ingatan saya kembali ke masa sekolah saat diajarkan mengenali bagian-bagian bunga, organ tubuh katak, ikan, dan lain-lain. Sementara, begitu banyak hal dasar yang penting, tetapi kita tidak diajarkan.
Contoh, apa yang harus dilakukan ketika anak-anak tersiram air panas, tidak semua paham. Ketika sakit, walau hafal bagian-bagian tumbuhan, sebagian besar kita tidak memiliki wawasan bagus tentang herbal, apa yang bermanfaat, dan apa fungsinya.
Kita pun diajarkan bagaimana proses penyerbukan, melibatkan putik dan serangga, padahal sekarang bisa dibilang nyaris semua dijalankan secara nonalamiah. Lainnya, anak-anak Indonesia diajari sejarah ilmu pengetahuan, tapi tidak diajarkan aplikasi dan kenyataan ilmu tersebut dalam penerapannya.
Kalau saya diberi kesempatan memberi ide-ide bebas terkait kurikulum pendidikan, saya justru ingin mengevaluasi, menyeleksi lagi mata pelajaran yang tidak penting, dan bukan kebutuhan umum.
Memastikan beban yang diberikan bagi anak-anak Indonesia di sekolah benar-benar sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan siswa secara umum pada masa depan. Jika perlu, lakukan survei sederhana, tanyakan pada masyarakat apa pelajaran ketika SD, SMP, dan SMA yang kemudian sama sekali tidak dipakai dalam kehidupan. Lalu, kurangi jam pelajaran tersebut atau hilangkan.
Saya yakin para guru di Tanah Air yang berdedikasi akan tersenyum bahagia melihat apa yang mereka ajarkan kemudian berdampak jelas bagi siswa mereka pada masa depan.
Sebaliknya, terkait yang seharusnya dipelajari di sekolah, tapi tidak diajarkan, atau ilmu yang pasti bermanfaat untuk kehidupan, tetapi belum dimasukkan mata pelajaran, tambahkan.
Mencoba menjaring masukan dari berbagai kalangan masyarakat, survei sederhana tersebut pun saya ajukan. Jawaban yang saya terima menarik, di antaranya, yang menurut berbagai pihak perlu diajarkan kepada siswa: pemahaman lalu lintas, pertolongan pertama pada kecelakaan, pemahaman sistem listrik di rumah, teknologi internet, menulis, mengetik 10 jari, pengetahuan bahaya narkoba, pengetahuan tentang bahaya rokok, evakuasi bencana, cuci tangan dan menjaga kebersihan, herbal, pengetahuan tentang dasar hukum, sistem hukum, dan lainnya.
Itulah kira – kira sindiran untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang lama ( Pak Muhadjir Effendy ). Yang baru saja saat itu dilantik menjadi menteri, ia langsung mencanangkan dan melaksanakan full day school, yang dalam artian menambah jam belajar di sekolah.
Saya ingin mengatakan jam sekolah sebaiknya tidak terlalu lama agar anak punya waktu cukup untuk berkumpul dengan keluarganya. Saya rasa delapan jam sudah terlalu lama untuk anak-anak, kami meminta anak-anak agar tidak terlalu lama di sekolah sehingga mereka bisa berkumpul bersama keluarga mereka.
Menurut saya, waktu anak bersama keluarga itu lah yang sangat penting, karena keluarga adalah lembaga utama pembentuk sebuah karakter anak. Kalau terlalu banyak jam belajar juga kan di sekolah itu sudah melanggar hak anak, seperti halnya hak bermain sang anak.
Contoh lah hal nya, negara Finlandia yang dulu nya merupakan negara yang paling jelek tingkat pendidikan nya, tapi lambat laun mereka sadar ( Negara Finlandia ) bahwa pendidikan mereka jauh dari yang namanya ketertinggalan, dan dia sadar akhirnya ia ( Negara Finlandia ) menjadi negara dengan tingkat pendidikan yang tinggi alias bagus.
Sistem pendidikan Finlandia dianggap sebagai salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia. Pendidikan di negeri ini secara rutin mengungguli Amerika Serikat dalam literasi membaca, sains, dan matematika.
Finlandia selalu menempati skor terbaik dalam survei penilaian siswa internasional ( PISA ) yang dilakukan tiga tahun sekali sejak 2000.
Finlandia di peringkat ke-13 untuk skor matematika PISA, peringkat ke-4 literasi baca, dan peringkat ke-5 untuk sains. Padahal, sekolah di Finlandia memiliki hari sekolah yang lebih singkat jika dibandingkan dengan sekolah di negara lain dan mereka tidak melakukan ulangan atau ujian standar.
Dilansir dari laporan Big Think yang dipublikasikan World Economic Forum (WEF), sistem pendidikan Finlandia dapat berfungsi dengan baik karena strukturnya ditopang oleh beberapa prinsip utama: Pertama dan terpenting akses yang sama terhadap pendidikan dan siswa diberi kebebasan memilih jalur edukatif mereka berdasarkan minat dan bakat.
Pendidikan awal Finlandia dirancang di sekitar konsep belajar melalui permainan.
Anak-anak Finlandia tidak diharuskan pergi ke sekolah sampai usia 6 tahun ketika pendidikan pra-sekolah dasar atau PAUD dimulai.
Orangtua bebas menghabiskan tahun-tahun awal itu untuk bermain, mengajar, dan menjalin ikatan bersama anak. Jika orangtua ingin memulai pendidikan anak lebih awal, sistem Finlandia menawarkan program pendidikan dan perawatan anak usia dini (ECEC) yang luas juga.
Program ini mengadopsi model "belajar melalui permainan" untuk mempromosikan "pertumbuhan seimbang,".
Akan ada biaya, tetapi orangtua akan mendapat subsidi untuk biaya pendidikan PAUD. Orangtua kira-kira hanya membayar 14 persen dari total biaya pendidikan. Jumlahnya akan disesuaikan berdasarkan pendapatan dan jumlah anak.
Program ini sangat populer di sana karena angka partisipasi sekolah Finlandia untuk anak-anak usia 3 hingga 5 tahun mencapai hampir 80 persen.
Mereka menawarkan pendidikan struktur tunggal selama sembilan tahun selama 190 hari per tahun. Sekolah diberi banyak ruang untuk merevisi dan mengubah kurikulum sesuai kebutuhan siswa mereka yang unik.
Tujuan mereka yang dinyatakan untuk pendidikan dasar adalah "untuk mendukung pertumbuhan siswa menuju kemanusiaan dan keanggotaan masyarakat yang bertanggung jawab secara etis dan untuk memberi mereka pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan."
Mengajar adalah bidang yang sangat dihormati dan profesional di Finlandia. Sebagian besar guru SD memegang gelar master. Delapan puluh persen guru sekolah dasar juga berpartisipasi dalam melanjutkan pengembangan profesional.
Tingkat pembelajaran dan pengembangan berkelanjutan ini memastikan para pendidik Finlandia mendalami ilmu pengajaran.
Bagaimanapun, pada intinya saya mengapresiasi sikap pejabat atau pemegang kebijakan yang secara terbuka menerima kritik masyarakat hingga kemudian memutuskan mempertimbangkan kembali rencana penambahan jam belajar.
Semoga beliau juga terbuka terhadap ide-ide baru demi melukis masa depan terbaik dari generasi penerus di Tanah Air.
Semoga bermanfaat, dan berguna artikel ini untuk kalian. Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan kata.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Posting Komentar untuk "Mengurangi Jam Belajar Di Sekolah"
Silakan berkomentar di mukhlas.com Komentar akan dimoderasi terlebih dahulu oleh admin. Komentar yang melanggar peraturan tidak akan dipublikasikan.